Detail Artikel


  • 20 Februari 2023
  • 5.509
  • Artikel

Tips memilih lembaga akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan

Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) dituntut untuk dapat menjamin perbaikan mutu, peningkatan kinerja dan penerapan manajemen risiko yang dilaksanakan secara berkesinambungan,sehingga perlu dilakukan penilaian melalui mekanisme akreditasi pelayanana kesehatan.

Semangat tersebut diharapkan tetap tinggi pada tahap penerapan standar akreditasi, yang terdiri dari kegiatan membangun kebulatan tekad bersama, memperdalam pemahaman persyaratan akreditasi, melakukan baseline assessment, menetapkan rencana penerapan dan sistem pemantauan kemajuan akreditasi, membentuk tim fasilitator dan pelaksana, serta menyusun, melaksanakan, dan meningkatkan efektifitas berbagai kebijakan dan prosedur.

Berbagai upaya pemenuhan standar akreditasi yang menguras sumber daya fasilitas pelayanan kesehatan dan memakan waktu berbulan-bulan tersebut akan dinilai oleh para “penyurvei” (menggunakan istilah baku dalam KBBI) dari lembaga independen penyelenggara akreditasi dalam waktu 2 sampai 3 hari saja. Sehingga penting bagi pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan memilih dengan bijaksana lembaga akreditasi yang akan melakukan penilaian.

Saat ini terdapat 6 lembaga independen penyelenggara akreditasi RS dan 13 lembaga independen penyalenggara akreditasi Puskesmas, Klinik, Unit Tranfusi Darah, Laboratorium Kesehatan dan Tempat Praktek Mandiri Dokter atau Dokter Gigi. Adapun 6 lembaga independen penyelenggara akreditasi RS dengan berbagai akronim yang hampir mirip

1. Komite Akreditasi Rumah Sakit,

2. Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia,

3. Lembaga Akredtiasi Rumah Sakit-Darma Husada Pratama,

4. Lembaga Akreditasi Rumah Sakit,

5. Lembaga Akreditasi Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit

6. Lembaga Akreditasi Rumah Sakit Indonesia.

Sedangkan 13 lembaga independen penyelenggara akreditasi akreditasi Puskesmas, Klinik, Unit Tranfusi Darah, Laboratorium Kesehatan dan Tempat Praktek Mandiri Dokter atau Dokter Gigi adalah

1. Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Primer;

2. Lembaga Akreditasi Fasyankes Seluruh Indonesia;

3. Komite Akreditasi Kesehatan Pratama;

4. Lembaga Penyelenggara Akreditasi Pelayanan Kesehatan Paripurna;

5. Lembaga Akreditasi Faskes Indonesia;

6. Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia;

7. Lembaga Akreditasi Mutu Fasyankes Indonesia;

8. Lembaga Akreditasi Independen Semar Bhakti Nusantara;

9. Komite Mutu Kesehatan Primer;

10. Lembaga Independen Penyelenggara Akreditasi Lipa Mitra Nusa;

11. Aski Klinik Indonesia;

12. Lembaga Akreditasi Puskesmas, Klinik, dan Laboratorium Indonesia;

13. Lembaga Akreditasi Prima Husada.

 

Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bebas memilih sebebas-bebasnya (dan memang tidak boleh dipaksa baik secara halus apalagi terang-terangan) lembaga yang akan diminta menilai Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dipimpinnya, namun ternyata tidak mudah memilih yang terbaik.

The International Society for Quality in Healthcare (ISQua) telah memberikan kiat jitu memilih lembaga akreditasi terbaik. ISQua adalah komunitas internasional untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien termasuk dengan membentuk External Evaluation Association (ISQua-EEA) sebagai asosiasi lembaga evaluasi eksternal yang kemudian mengembangkan pedoman dan standar bagi lembaga evaluasi eksternal (termasuk lembaga akreditasi).

Berdasarkan beberapa kriteria inti dari ISQua-EAA, cara memilih lembaga akreditasi terbaik adalah dengan menilai berbagai aspek dibawah ini:

  1. Tatakelola: Pilihlah lembaga akreditasi yang telah berupaya mencegah dan memastikan bebas dari kemungkinan konflik kepentingan, memiliki kejelasan tatakelola organisasi yang meliputi: susunan organisasi, masa jabatan, mekanisme pengangkatan, dan uraian tugas setiap pengelola, serta jalur akuntabilitas yang melibatkan pemangku kepentingan di luar lembaga.
  2. Manajemen strategi, operasional, dan keuangan: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki kejelasan rencana strategis, disusun dengan melibatkan para pemangku kepentingan (termasuk wakil pengelola fasyankes), dilengkapi dengan tujuan dan sasaran yang dapat dicapai dan terukur.
  3. Manajemen risiko dan peningkatan mutu: Pilihlah lembaga akreditasi dengan sistem manajemen keluhan yang baik, yaitu lembaga yang: menjelaskan prosedur pengajuan komplain baik oleh pengelola fasyankes, penyurvei, dan pemangku kepentingan lainnya, memiliki kerangka waktu yang jelas dalam menindaklanjuti keluhan, memastikan adanya umpan balik kepada pelapor, serta menggunakan temuan dari keluhan untuk peningkatan kualitas berkelanjutan.
  4. Manajemen SDM: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki program orientasi bagi staf baru (termasuk para penyurvei), sehingga para staf mereka memahami dengan baik misi, visi, nilai, strategi, layanan, dan struktur lembaga mereka, serta prosedur kesehatan dan keselamatan, termasuk peran dan tanggung jawab mereka.
  5. Manjemen informasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki sistem teknologi informasi (TI) yang baik, yaitu informatif, ramah pengguna, selalu diperbaharui, dan dipelihara, serta terdapat mekanisme keamanan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki proses untuk memastikan bahwa semua informasi: akurat, dapat diandalkan, dapat diakses sesuai dengan undang-undang yang relevan, dan dijaga kerahasiaannya.
  6. Manajemen penyurvei: Pilihlah lembaga akreditasi yang memiliki jumlah dan komposisi keterampilan penyurvei yang cukup untuk memastikan layanan survei yang diberikan berkualitas. Lembaga akreditasi juga harus mengangkat penyurvei melalui proses yang ketat dan transparan sesuai dengan kriteria seleksi berbasis kompetensi dan persyaratan dari lembaga akreditasi.
  7. Manajemen proses survei dan hubungan dengan pengelola fasyakes: Pilihlah lembaga akreditasi yang menyediakan informasi lengkap tentang program penilaian akreditasi yang ditawarkan dan memiliki pengaturan untuk memastikan ketidakberpihakan serta menghindari konflik kepentingan dalam hubungan dengan pengelola fasyankes.
  8. Pengelolaan status akreditasi: Pilihlah lembaga akreditasi yang setelah pemberian status akreditasi tetap memantau secara berkelanjutan kepatuhan pengelola fasyankes terhadap standar dan upaya mereka untuk melakukan perbaikan. Lembaga akreditasi juga harus memiliki mekanisme untuk menindaklanjuti setiap permasalahan terkait fasyankes yang telah terakreditasi.

Bagaimana cara pengelola RS memperoleh informasi dan menilai delapan aspek ini? Mudah, cukup cari, buka, dan pelajari website dari masing-masing lembaga akreditasi tersebut diatas.

Bagaimana kalau website-nya tidak ada atau tidak informatif? Mudah, nilai saja bahwa aspek tersebut diatas tidak terpenuhi. Kita berada di era informasi digital, bila informasi seperti itu tidak ada di website anggap saja memang tidak ada, “gitu aja kok repot”.

Lampiran 

No

Aspek Penilaian

         Kode Lembag Akreditasi

1

2

3

4

5

6

1

Tata kelola

 

 

 

 

 

 

2

Manajemen strategi. Oeperasional dan keuangan

 

 

 

 

 

 

3

Manajemen risiko dan peningkatan mutu

 

 

 

 

 

 

4

Manajemen SDM

 

 

 

 

 

 

5

Manajemen informasi

 

 

 

 

 

 

6

Manajemen pen-survei

 

 

 

 

 

 

7

Manajemen proses survey dan hubungan dengan pengelola fasyankes

 

 

 

 

 

 

8

Pengelola status akreditasi

 

 

 

 

 

 

 

Total Nilai

 

 

 

 

 

 

 

Catatan:

  1. Penilaian dapat dilakukan dengan skala Likert 1-5
    • 1:tidak ada atau tidak ada informasi
    • 2:kurang baik
    • 3:cukup baik
    • 4:baik
    • 5:sangat baik
  2. Penilaian disarankan tidak hanya dilakukan oleh 1 orang tapi oleh tim
  3. Instrumen ini dapat dimodifikasi oleh masing-masing RS tergantung kebutuhan

 

Artikel ini sudah terbit lebih dulu pada tanggal 2 Juni 2022 di http://mutupelayanankesehatan.net/3811-tips-memilih-lembaga-akreditasi-rs-terbaik

Kontak Kami

JL. Gondosuli No.6 Yogyakarta Kota Yogyakarta DIY 55231 Indonesia
dinkes@jogjaprov.go.id
+62274563153
(0274)512368

Kunjungan

  • Hari Ini

  • 23.729
  • Bulan Ini

  • 1.728.429
  • Total Kunjungan

  • 20.073.955